Minggu, 09 September 2012

Pewarisan Budaya Tradisi Pasah Pangur


 ”PEWARISAN NILAI SOSIAL BUDAYA TRADISI MASYARAKAT”
Upacara tradisi Pasah Pangur di Kabupaten Pekalongan

I.1.       Latar Belakang
Kebudayaan merupakan warisan sosial yang memiliki masyarakat pendukungnya. Agar masyarakat pendukungnya, terutama generasi muda, dapat mewarisi, nempelajari dan menghayati suatu kebudayaan, diperlukan beberapa cara dan nekanisme tertentu, antara lain penyelenggaraan upacara tradisional.
Upacara tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mergandung aturan-aturan yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.

Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat. Masyarakat oendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang litentukan, karena ada sangsi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacaratradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di samping sebagai pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi antar sesama manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi antara dunia nyata dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui simbol-simbol.  Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai etis dan norma-nrorma yang berlaku dalam masyarakat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya melalui simbol-simbol. Oleh krena itu, upacara tradisional merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai, terutama kepada generasi muda yang masih harus menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat ( T.t :2003)
Menurut kajian teoritis, tradisi atau upacara tradisional diperlukan oleh semua kelompok sosial dalam masyarakat, baik masyarakat yang lama maupun masyarakat yang baru. Upacara tradisional sangat diperlukan sebagai media integrasi sosial dalam suatu kelompok masyrakat, serta sebagai media bagi setiap warga untuk memperkenalkan diri dan menunjukkan statusnya dalam kelompoknya. Isi yang terpenting dalam tradisi adalah integrasi dan konfigurasi simbol, baik simbol lama maupun baru, yang diiplementasikan dalam aktivitas upacara (ayatrohaedi : 1986 hal 5).
Dalam upacara tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan status yang sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, upacara tradisional harus selalu dilestarikan dan diaktualisasikan secara terus menerus, dengan mempertahankan unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsure-unsur yang baru. Unsur atau simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi itu tidak usang dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upacara tradisional diadakan dalam waktu-waktu dan peristiwa tertentu sesuai dengan fungsinya. Di suatu daerah, terdapat bermacam-macam bentuk upacara tradisional, sesuai dengan kebutuhan kelompok sosial. Sebagai contoh, wilayah Kabupaten Pekalongan sampai sekarang masih dijumpai beberapa upaca radisional yang dilaksanakan oleh masyarakat, yaitu : upacara yang berkait; engan daur hidup (lintasan hidup pada individu/perorangan), upacara tradision ang berakitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan (upacara bersih des pacara nyadran, upacara sedekah bumi, upacara sedekah laut).
I.2.       Permasalahan
Berbagai upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan baru sedikit yang  ditelaah identifikasi, padahal tradisi itu mengandung nilai-nilai yang berguna untuk mengeratkan  hubungan antarindividu dan antarkomunitas, untuk memperkuat identitas  komunitas serta daerah, dan untuk memperkuat kepribadian  bangsa dalam  menghadapi budaya global.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti mengemukakan pertanyaan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a.   Bagaimanakah kondisi fisik  Kabupaten Pekalongan ?
b.   Bagaimana kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat di Kabupaten Pekalongan ?
c.   Upacara-upacara tradisional apa saja yang masih berlangsung Kabupaten Pekalongan ?
d.   Bagaimana pelaksanaan upacara tradisional pasah pangur di Kabupaten Pekalongan dan apa makna yang terkandung didalamnya.
3.   Tujuan dan Manfaat
a.   Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk inventarisasi, identifikasi, dan dokumentasi upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan secara umum adalah untuk memberikan data dan informasi tentang nilai-nilai tradisional yang berguna untuk pelaksanaan kebijakan dalam bidang kebudayaan, termasuk pendidikan dan pariwisata.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam upacara tradisional pasha pangur sehingga nilai-nilai itu dapat dipelajari dan dipahami oleh generasi penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan melestarikan nilai-nilai luhur dalam upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya Kabupaten Pekalongan kepada masyarakat luas.
b.   Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.         Menambah pengetahuan akademis maupun non akademis tentang upacara tradisional pasha pangur dan makna yang terkandung didalamnya.
2.     Memperkuat otonomi daerah, mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial, khususnya integrasi dan kebersamaai masyarakat Kabupaten Pekalongan.
4.    Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian adalah upacara tradisional yang terdapat di Kabupaten Pekalongan khusunya upacara tradisi daur hidup masa remaja yaitu pasha pangur. Penelitian dan penulisan dibatasi pada pembahasan tentang berbagai upacara tradisional, termasuk nilai-nilainya yang berguna untuk mendukung persatuan komunitas,dan penguatan identitas masyarakat di Kabupaten Pekalonan
Pembatasan ruang lingkup ini dimaksudkan agar berbagai upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan dapat diidentifikasi dan dipelajari secar mendalam, sehingga bisa diungkap nilai-nilai positifnya yang berguna untuk membangun dan meningkatkan kearifan lokal.
 5.    Metode Penelitian
Penelitian tentang upacara tradisional di Kabupaten Pekalongai menggunakan pendekatan historis dan antropologis.
Metode historis diperlukan untuk mengungkap sejarah pembentukai Kabupaten Pekalongan, proses perkembangan upacara-upacara tradisional serta nilai-nilai budayanya yang berguna untuk memperkuat persatuan dan kepribadiai bangsa. Penelitian historis meliputi tahap-tahap sebagai berikut. (1). Pengumpulan: sumber sejarah (heuristik) melalui studi pustaka dan studi arsip untuk memperoleh  sumber atau data primer dan sekunder tentang upacara-upacara tradisional di Kabupaten pekalongan. (2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas sumber sejarah. (3). Penetapan sintesis antarfakta sejarah melalui prose; imajinasi, analisis, dan interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta. (4). Penulisan sejarah.
Metode antropologis digunakan untuk mengungkap sistem budaya yang meliputi pemikiran, perasaan, harapan, sense of belonging masyarakat di Kabupater Pekalongan terhadap upacara-upacara tradisional. Metode antropologis yang digunakan adalah wawancara secara bebas mendalam (indepth interview) dengar para informan kunci {key informan), dan Focus Group Discussion. Dari study antropologis, dapat diperoleh rumus-rumus untuk mengembangkan sense of be­longing masyarakat, sehingga mereka merasa ikut bertanggungjawab untuk melestarikan serta mengembangkan nilai-nilai positif dalam upacara-upacara tradisional.
Hasil penelitian historis dan antropologis dipakai sebagai dasar untuk pengembangan upacara tradisional untuk memperkuat identitas budaya serta mendukung kepariwisataan di Kabupaten Pekalongan.
6.    Sistematika Penulisan
Hasil penelitian dirumuskan dan ditulis dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I memuat Pendahuluan yang mencakup latar belakang, permasalahan, tujuan, metode penelitian, dan sistematika penulisan hasil penelitian.
Bab II berisi pembahasan tentang identifikasi Kabupaten Pekalongan meliputi lintasan Kabupaten Pekalongan, kondisi geografi, dan kondisi sosial budaya.
Bab III memuat uraian tentang upacara-upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan, yaitu upacara daur hidup masa remaja yaitu pasah pangur .
Bab IV adalah kesimpulan yang memaparkan jawaban atas permasalahan De elitian serta saran-saran.

Daftar Pustaka
Lampiran

BAB II
IDENTIFIKASI KABUPATEN PEKALONGAN

II. 1. Pekalongan: Kota SANTRI (Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi, Indah]
Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu dari 35 kabupaten yang berada di Jawa Tengah, terletak di pantai utara bagian barat dengan Kajen sebaga; ibu kota atau pusat pemerintahan.
Kabupaten Pekalongan mencakup wilayah seluas 836,13 km2, terdiri atas 19 kecamatan, 270 desa, dan 13 kelurahan/desa yang merupakan desa swasembada dengan motto Pekalongan Kota SANTRI (Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi, dan Indah). Menurut topografi, terdapat 58 desa/kelurahan (20%) yang terletak di dataran tinggi, dan selebihnya 225 desa/kelurahan (80%) berada di dataran rendah.
Kabupaten pekalongan dibagi menjadi tiga subwilayah pembangunan, yaitu:
1.              Subwilayah pembangunan I dengan pusat Kota Kajen, meliputi: Kecamatan Kajen,Kesesi, Lebakbarang, Kandangserang, dan Paninggaran.
2.              Subwilayah pembangunan II dengan pusat Kota Kedungwuni, meliputi: Kecamatan Doro, Buaran, Karangdadap, Karanganyar, Petungkriono, Talun, Wonopringgo.
3.      Subwilayah pembangunan III dengan pusat Kota Wiradesa, meliputi: Kecamatan Tirto, Wonokerto, Siwalan, Sragi, dan Bojong. Batas-batas wilayah Kabupaten Pekalongan adalah sebagai berikut: disebelah utara berbatas Laut Jawa dan Kota Pekalongan, di sebelah timur berbatas Kabupaten Batang, di sebelah selatan berbatas Kabupaten Banjamegara, dan di sebelah barat berbatas Kabupaten pemalang.
Sebagiah besar penduduk Kabupaten Pekalongan tinggal di daerah pedesaan. Akan tetapi, sering terjadi perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan, untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Melihat kondisi ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan terus memacu pemerataan pembangunan dengan visi "terwujudnya masyarakat yang lebih sejahtera baik lahir maupun batin".

II.2.   Pekalongan dalam Lintasan Sejarah
Keberadaan pemukiman di Pekalongan pada masa prasejarah dan masa perluasan pengaruh kebudayaan Hindu dapat diketahui dari keberadaan peninggalan megalitik dan lingga-yoni di beberapa tempat di bagian selatan Kabupaten Pekalongan. Peninggalan ini menunjukkan bahwa pemukiman penduduk telah berangsung lama dan penduduknya telah mengenal sistem kemasyarakatan dan keagamaan.
Keberadaan pemukiman pada periode awal abad Masehi sampai abad XIV/ dan XV sangat terbatas, sehingga sulit dipastikan pertumbuhan dan perkembangan komunitas di wilayah Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Hindu. Sampai saat kini pun belum ditemukan peninggalan tertulis yang mampu me igungkap kehidupan pada masa itu. Banyak ditemukan toponim, beserta tradisi lisan yang berupa legenda, mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan dengan toponim. Akan tetapi sulit untuk memastikan kebenaran legenda atau cerita rakyat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Scshrieke, Negara Kertagama, karya tulis penting pada masa Majapahit, tidak menyebut nama-nama daerah di Pantai Utara Jawa sebelah barat Lasem, yang mencakup daerah Tegal, Pekalongan dan Semarang. Ada suatu dugaan bahwa pada masa itu penduduk di daerah jarang, sedangkan daerah lain seperti Demak, Jepara,Kudus dan Pati telah berkembang menjadi daerah penting, baik dalam percaturan politik maupun ekonomi. Data-data sejarah pada periode abad ke-15 dan abad ke-16 diperolel melalui sumber-sumber tertulis, sumber-sumber peninggalan bangunan makam kuno dan bangunan lain dari masa perkembangan Islam di Jawa. Pada abad ke-16 diduga wilayah Pekalongan telah menjadi daerah yang dilewati oleh hubungai komunikasi dari dua kerajaan Islam Demak dan Cirebon.
Pada abad ke-17, wilayah Pekalongan telah menjadi bagian dari kekuasaai kerajaan Mataram Islam. Pada masa pemerintahan pemerintahan Sultan Agung Mataram merupakan salah satu kerajaan yang paling gigih menentang Kompen Belanda. Penyerangan Mataram terhadap Belanda di Batavia mencapai puncakny pada tahun 1628, yang dipimpin oleh Pengeran Mandurorejo dan Bahurekso.
Secara geografis Kabupaten Pekalongan terletak pada jalur pantura dai jalur perniagaan laut yang cukup strategis, sehingga pada saat penyerangan ke  Batavia Pekalongan dijadikan sebagai kantong/lumbung perbekalan. Strategi in juga digunakan oleh Sultan Agung untuk mengumpulkan kekuatan-kekuatan daerah.
Dari bukti itu, dapat diketahui bahwa Pekalongan memiliki posisi penting dalam sejarah politik dan ekonomi di Indonesia. Bukti yang lebih memperkuatnya lagi adalah pengangkatan Pangeran Manduroredjo sebagai Bupati Pekalongan, yan memperoleh kekuasaan tertinggi di wilayah itu serta mempunyai kewajiban untu melaporkan segala sesuatu kepada Raja Mataram, termasuk penyerahan upeti.
Selanjutnya pada abad ke 18 wilayah, Pekalongan berada di bawah VOC (Verenigde Oost lndische Compagnie), suatu persekutuan dagang di Hindia Timu VOC memperoleh kekuasaan itu dari kerajaan Mataram setelah berhasil menumpe pemberontakan Trunajaya. Atas jasanya itu VOC memperoleh imbalan berup kekuasaan atas daerah-daerah di pantai Utara Jawa. Sejak 1800-an sampai 1942 wilaya Pekalongan menjadi wilayah administrasi di bawah pemerintah Hindia Belanda.
II.3. Kondisi Sosial Budaya
            Meskipun budaya jawa masih tampak kental dalam masyarakat pekalongan, masyarakat bersifat akomodatif terhadap unsur-unsur baru. Justru dalam keadaan yang demikianlah  Kabupaten Pekalongan menjadi sebuah kabupaten yang cukup maju, karena masyarakatnya  mau mengadopsi dan mengadaptasi unsure-unsur luar yang bernilai positif untuk pengembangan kepribadian dan pembangunan daerahnya.

BAB III
UPACARA TRADISIONAL
DALAM MASYARAKAT KABUPATEN PEKALONGAN
Masyarakat Kabupaten Pekalongan, yang dikenal dengan sebutan kol SANTRI masih memiliki budaya religi yang kental, terutama yang bernafaska Islam. Beberapa upacara tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Pekalongan yaitu di antaranya adalah :
1.      Upacara sedekah laut,
2.      Upacara sedekah Bumi
3.      Tradisi Jumat Paingan
4.      Tradisi Grebeg Maulud
5.      Upacara giling Tebu
6.      Tradisi Bersih Kubur
7.      Tradisi Syawalan
8.      Tradisi Daur Hidup
III.l.   Tradisi Daur Hidup
Tradisi daur hidup dilakukan oleh semua orang di dunia , sebab tradisi ini menyangkut keselamatan dan harapan manusia dalam kehidupannya. Perbedaanya terletak padapemberian penekanan antara keselamatan dan harapan. Penekanan ini tergantung pada keyakinan masing-masing. Orang-orang Indonesia atau Asia Timur, biasanya lebih mengutamakan keselamatan dalam kehidupannya yang tercermin dalam tradisi daur hidup, sedangkan orang-orang barat lebih mengedepankan pengharapannya dari pada keselamatannya.
Daur hidup yang terpenting bagi manusia adalah kelahiran, perkawinan dan kematian, dan hanya tiga hal inilah yang diperingati dengan pesta-pesta oleh orang-orang barat. Kegiatan perta lebih diutamakan sebab mereka lebih mengedepankan pengharapan. Masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa lebih mengutamakan keselamatan dalam kehidupan mereka, maka dalam memperingati daur hidup mereka lebih mementingkan unsure religi. Oleh karena itu, pelaksanaan tradisi daur hidup tidak terbatas pada tradisi kelahiran, perkawinan dan kematian, tapi lebih rinci lagi sesuai dengan perhitungan tradisional tentang perubahan dalam serangkaian kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Dalam ranah Antropologi upacara tradisi daur hidup disebut juga ritus peralihan.( Yulianti,Dewi; 2008)
Masyarakat Kabupaten Pekalongan merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Oleh karena itu penyelenggaraan upacara yang berkaitan dengan daur hidup atau ritus peralihan adalah sama seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, yang dapat dikelompokkan menurut jenjang kedewasaan, yaitu upacara masa kehamilan, upacara kelahiran dan masa bayi, upacara masa kanak-kanak, upacara masa remaja, upacara masa dewasa dan upacara kematian.
 III. 2. Upacara Pasah Pangur
Karena banyaknya upacara dan tradisi di Kabupaten Pekalongan maka penulis hanya ankan mengangkat bagian tradisi daur hidup yaitu tradisi upacara  Pangur.
Upacara Pasah Pangur merupakan upacara pada masa remaja ini masih dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan khususnya di kecamatan Kajen, Kesesi, Sragi dan Kandang Serang  sedangkan di derah Wiradesa, Wonokerto, Buaran, dan Tirto upacara tersebut sudah tidak dilaksanakan oleh masyarakat.
III. 2. 1. Upacara Pasah Pangur dapat diuraikan sebagai berikut :
Upacara Pasah Pangur, yaitu upacara memasah gigi supaya ujung-ujung gigi menjadi rapi. Adapun perlengkapan upacara ini meliputi:
1.      Pasoh / pengaron / ember/ baskom/ bak mandi.
2.      Perlengkapan Pangur yang terdiri dari Kain putih, wungkal pangur/ grenda untuk meratakan dan menghaluskan gigi, catut atau tang untuk memotong gigi.
3.      Sesaji berupa polo gumantung, polo kependem, dan nasi golong dengan lauk ikan kali.
III.2.1. Jalannya Upacara Pasah Pangur
      Setelah ditentukan hari untuk pelaksanaan upacara, orang tua segera menghubungi Juru Pangur untuk memesan pelaksanaan upacara. Setelah ditentukan hari pelaksanaan, Juru Pangur dating kerumah orang tua si Anak.
Sebelum upacara dimulai, anak yang akan di pangur dimandikan di kamar mandi atau sumur. Remaja putrid didampingi oleh ibunya, sedangkan remaja putra didampingi oleh bapaknya.
Setelah selesai mandi anak tersebut diserahkan pada Juru Pangur untuk segera melaksanakan pangur. Pada pelaksanaan upacara ini orang tua menyerahkan sesaji berupa jenjem weton anak, panggang ayam jantan, polo gumantung dan polo kependem, lauk pauk ikan sungai dan kluban.
Pada pelaksanaan pasha pangur, anak duduk di kursi, diselimuti kain putih, kemudian disuruh berkumur tiga kali dengan menggunakan air putih yang telah diberi mantera oleh juru pangur. Setelah itu juru pangur melaksanakan tugasnya meratakan gigi anak yang dipangur dengan alat catut sebagai pemotong gigi dan setelah itu menghaluskan gigi yang sudah dipangur dengan wungkal atau grenda halus. Setelah menjalan kan pasha pangur terdapat beberapa pantangan yang harus dihindari yaitu : tidak boleh makan dan minum yang panas dan asam selama satu bulan dan tidak boleh mengumpat dan bicara tidak senonoh.
III.2.2. Makna yang terkandung dalam upacara pasha pangur
·       Mandi mengandung makna agar sucu dari kotoran jasmani.
·       Selimut kain putih melambangkan tujuan yang berlandaskan kesucian pikiran dan perbuatan
·  Selamatan golong mengandung makna golong gilig pikiran orang tua didalam mengantarkan anaknya pada usia remaja.
·       Panggang ayam jantan melambangkan keluhuran.
·      Sesaji berupa Polo Paja gumantung dan pala kependem melambangkan rasa syuk kepada Allah swt.
·  Ikan sungai melambangkan bahwa setelah seorang anak memasu usia remaja tidak melakukan tindakan-tindakan negatif.
·       Kuluban melambangkan bahwa anak telah dipersiapkan memasuki kehidupan masyarakat.
·  Juadah pasar melambangkan bahwa anak akan laris di pasaran sehingga cepat mendapatkan jodoh.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
I.                   Kesimpulan
Dari uraian pada bab terdahulu, dapat di kemukakan kesimpulan sebagai berikut :
  1. Beberapa upacara tradisional yang dapat diidentifikasi dan masih dilakukan oleh masyarakat adalah upacara sedekah laut, sedekah bumi, tradisi Juamat Paingan, tradisi giling tebu, tradisi grebeg Maulud, ritus peralihan atau daur hidup yang diantaranya adalah Pasah Pangur
  2. Tradisi dan Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya, dalam penelitian ini tradisi pasah pangur dapat diartikan sebagai upaya pewarisan perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak dalam ujud tradisi pasah pangur.
  3. Meskipun pelaksanaan upacara tradisional pasha pangur memerlukan aturan-aturan dan sarana yang cukup rumit sampai sekarang masyarakat kabupaten Pekalongan sebagian masih melaksanakannya karena dianggap menyangkut keselamatan dan harapan manusia dalam kehidupannya dan sebagai sarana integritas komunitas.
II.                Saran-saran
Eksistensi upacara tradisional atau tradisi ritual dikabupaten pekalongan perlu dilestarikan, namun pelaksanaannya harus mengikuti perkembangan jaman karena upacara tradisi antara lain berfungsi sosial ( sebagai perekat hubungan antar warga auatu komunitas dan pewarisan nilai-nilai luhur generasi sebelumnya) dan fungsi budaya sebagai identitas komunitas.
  
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta : Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat, ed.. 1989. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
T.t.. 2003, Upacara Tradisional Daur Hidup Kabupaten Pekalongan, Pekalongan : Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Kantor Pariwisata Dan Kebudayaan.
Nuryanti, Windu. 1992. “Pariwisata dalam Masyarakat Tradisional” Makalah pada program pelatihan Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar