”PEWARISAN NILAI SOSIAL BUDAYA
TRADISI MASYARAKAT”
Upacara tradisi Pasah Pangur di
Kabupaten Pekalongan
I.1. Latar
Belakang
Kebudayaan merupakan warisan sosial yang memiliki masyarakat
pendukungnya. Agar
masyarakat pendukungnya, terutama generasi muda, dapat mewarisi, nempelajari
dan menghayati suatu kebudayaan, diperlukan beberapa cara dan nekanisme
tertentu, antara lain penyelenggaraan upacara tradisional.
Upacara
tradisional adalah suatu kegiatan sosial yang melibatkan para warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama
untuk mencapai tujuan keselamatan. Upacara tradisional mergandung aturan-aturan
yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.
Aturan-aturan tersebut tumbuh dan berkembang secara turun temurun, sehingga mempunyai peranan untuk melestarikan ketertiban hidup, merekatkan hubungan antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat. Masyarakat oendukung suatu upacara tradisional bersedia untuk mematuhi aturan-aturan yang litentukan, karena ada sangsi yang bersifat sakral dan magis. Dengan demikian upacaratradisional merupakan suatu pranata sosial yang tidak tertulis, tetapi wajib dikenal dan dipatuhi oleh setiap warga untuk mengatur tingkah lakunya, agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Di samping
sebagai pranata sosial, upacara tradisional juga merupakan alat komunikasi
antar sesama manusia serta antara dunia yang nyata dan dunia yang ghaib. Hubungan komunikasi antara dunia nyata
dan dunia ghaib dapat dipelajari melalui
simbol-simbol. Pesan-pesan ajaran agama,
nilai-nilai etis dan norma-nrorma yang berlaku dalam masyarakat
disampaikan kepada seluruh warga masyarakat pendukungnya
melalui simbol-simbol. Oleh krena itu, upacara tradisional merupakan sarana
sosialisasi nilai-nilai, terutama kepada generasi muda yang masih harus
menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat ( T.t :2003)
Menurut
kajian teoritis, tradisi atau upacara tradisional diperlukan oleh semua
kelompok sosial dalam masyarakat, baik masyarakat yang lama maupun masyarakat yang baru. Upacara tradisional sangat
diperlukan sebagai media integrasi sosial dalam suatu kelompok
masyrakat, serta sebagai media bagi setiap warga untuk memperkenalkan diri dan menunjukkan statusnya dalam kelompoknya.
Isi yang terpenting dalam tradisi
adalah integrasi dan konfigurasi simbol, baik simbol lama maupun baru, yang diiplementasikan dalam
aktivitas upacara (ayatrohaedi : 1986 hal 5).
Dalam upacara
tradisional yang masih berkembang dalam masyarakat, dapat diketahui juga fungsinya sebagai media integrasi dan pengukuhan
status yang sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat. Oleh
karena itu, upacara tradisional harus selalu dilestarikan dan diaktualisasikan
secara terus menerus, dengan mempertahankan
unsur-unsur lama dan memodifikasinya dengan unsure-unsur yang baru. Unsur atau
simbol baru senantiasa diperlukan untuk aktualisa agar tradisi itu tidak usang
dan tetap didukung oleh masyarakatnya.
Upacara tradisional diadakan dalam waktu-waktu dan peristiwa tertentu sesuai dengan fungsinya. Di suatu
daerah, terdapat bermacam-macam bentuk upacara
tradisional, sesuai dengan kebutuhan kelompok sosial. Sebagai contoh, wilayah Kabupaten Pekalongan sampai sekarang masih
dijumpai beberapa upaca radisional yang dilaksanakan oleh masyarakat,
yaitu : upacara yang berkait; engan daur
hidup (lintasan hidup pada individu/perorangan), upacara tradision ang
berakitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan (upacara bersih des pacara
nyadran, upacara sedekah bumi, upacara sedekah laut).
I.2. Permasalahan
Berbagai upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan baru sedikit yang ditelaah identifikasi, padahal tradisi itu
mengandung nilai-nilai yang berguna untuk mengeratkan hubungan antarindividu dan antarkomunitas,
untuk memperkuat identitas komunitas serta daerah, dan untuk
memperkuat kepribadian bangsa dalam menghadapi
budaya global.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti mengemukakan pertanyaan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah kondisi fisik Kabupaten Pekalongan ?
b. Bagaimana kondisi kehidupan
sosial-budaya masyarakat di Kabupaten Pekalongan ?
c. Upacara-upacara tradisional apa
saja yang masih berlangsung Kabupaten Pekalongan ?
d. Bagaimana
pelaksanaan upacara tradisional pasah pangur di Kabupaten Pekalongan dan apa
makna yang terkandung didalamnya.
3. Tujuan dan Manfaat
a.
Tujuan
Tujuan penelitian
ini adalah untuk inventarisasi, identifikasi, dan dokumentasi upacara tradisional di Kabupaten Pekalongan secara umum
adalah untuk memberikan data dan
informasi tentang nilai-nilai tradisional yang berguna untuk pelaksanaan kebijakan
dalam bidang kebudayaan, termasuk pendidikan dan pariwisata.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengungkap nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara tradisional pasha pangur sehingga nilai-nilai itu dapat
dipelajari dan dipahami oleh generasi penerus yang diharapkan dapat mewarisi dan
melestarikan nilai-nilai
luhur dalam upacara tradisonal tersebut serta memperkenalkan potensi budaya
Kabupaten Pekalongan kepada masyarakat luas.
b. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1.
Menambah pengetahuan akademis maupun non akademis
tentang upacara tradisional pasha pangur dan makna yang terkandung didalamnya.
2. Memperkuat otonomi daerah,
mengingat upacara tradisional ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial,
khususnya integrasi dan kebersamaai masyarakat Kabupaten Pekalongan.
4. Ruang
Lingkup
Ruang lingkup penelitian adalah upacara tradisional yang
terdapat di Kabupaten Pekalongan khusunya
upacara tradisi daur hidup masa remaja yaitu pasha pangur. Penelitian dan
penulisan dibatasi pada pembahasan tentang berbagai upacara tradisional, termasuk nilai-nilainya yang berguna
untuk mendukung persatuan
komunitas,dan penguatan identitas masyarakat di Kabupaten Pekalonan
Pembatasan ruang lingkup ini dimaksudkan agar berbagai upacara
tradisional di Kabupaten Pekalongan dapat diidentifikasi dan dipelajari secar mendalam,
sehingga bisa diungkap nilai-nilai positifnya yang berguna untuk membangun dan
meningkatkan kearifan lokal.
5. Metode Penelitian
Penelitian
tentang upacara tradisional di Kabupaten Pekalongai menggunakan pendekatan
historis dan antropologis.
Metode
historis diperlukan untuk mengungkap sejarah pembentukai Kabupaten Pekalongan,
proses perkembangan upacara-upacara tradisional serta nilai-nilai budayanya yang berguna untuk memperkuat persatuan dan
kepribadiai bangsa. Penelitian
historis meliputi tahap-tahap sebagai berikut. (1). Pengumpulan: sumber sejarah (heuristik) melalui studi pustaka
dan studi arsip untuk memperoleh sumber
atau data primer dan sekunder tentang upacara-upacara tradisional di Kabupaten
pekalongan. (2) Kritik sumber untuk menentukan autentisitas dai kredibilitas sumber sejarah. (3). Penetapan
sintesis antarfakta sejarah melalui prose; imajinasi, analisis, dan
interpretasi untuk menetapkan hubungan antar fakta. (4). Penulisan sejarah.
Metode antropologis digunakan untuk mengungkap sistem budaya yang meliputi
pemikiran, perasaan, harapan, sense of belonging masyarakat di Kabupater
Pekalongan terhadap
upacara-upacara tradisional. Metode antropologis yang digunakan adalah wawancara secara bebas mendalam (indepth interview) dengar
para informan kunci {key informan), dan Focus Group
Discussion. Dari study antropologis,
dapat diperoleh rumus-rumus untuk mengembangkan sense of belonging
masyarakat, sehingga mereka merasa ikut bertanggungjawab untuk melestarikan
serta mengembangkan nilai-nilai positif dalam upacara-upacara tradisional.
Hasil
penelitian historis dan antropologis dipakai sebagai dasar untuk pengembangan
upacara tradisional untuk memperkuat identitas budaya serta mendukung
kepariwisataan di Kabupaten Pekalongan.
6.
Sistematika Penulisan
Hasil penelitian dirumuskan dan
ditulis dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I memuat Pendahuluan yang mencakup latar belakang, permasalahan, tujuan, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hasil penelitian.
Bab II berisi pembahasan tentang identifikasi
Kabupaten Pekalongan meliputi lintasan
Kabupaten Pekalongan, kondisi geografi, dan kondisi sosial budaya.
Bab III memuat uraian tentang upacara-upacara
tradisional di Kabupaten Pekalongan, yaitu upacara daur hidup masa remaja yaitu
pasah pangur .
Bab IV adalah
kesimpulan yang memaparkan jawaban atas permasalahan De
elitian serta saran-saran.
Daftar Pustaka
Lampiran
BAB II
IDENTIFIKASI KABUPATEN PEKALONGAN
II. 1.
Pekalongan: Kota SANTRI (Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi, Indah]
Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu dari 35 kabupaten yang berada di Jawa
Tengah, terletak di pantai utara bagian barat dengan Kajen sebaga; ibu kota atau pusat pemerintahan.
Kabupaten Pekalongan mencakup wilayah seluas 836,13 km2,
terdiri atas 19 kecamatan, 270 desa, dan 13 kelurahan/desa yang merupakan desa
swasembada dengan motto
Pekalongan Kota SANTRI (Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi, dan Indah). Menurut topografi, terdapat 58
desa/kelurahan (20%) yang terletak di dataran
tinggi, dan selebihnya 225 desa/kelurahan (80%) berada di dataran rendah.
Kabupaten pekalongan dibagi
menjadi tiga subwilayah pembangunan, yaitu:
1.
Subwilayah pembangunan I dengan pusat Kota Kajen,
meliputi: Kecamatan Kajen,Kesesi,
Lebakbarang, Kandangserang, dan Paninggaran.
2.
Subwilayah pembangunan II dengan pusat Kota Kedungwuni,
meliputi: Kecamatan
Doro, Buaran, Karangdadap, Karanganyar, Petungkriono, Talun, Wonopringgo.
3. Subwilayah pembangunan III dengan
pusat Kota Wiradesa, meliputi: Kecamatan
Tirto, Wonokerto, Siwalan, Sragi, dan Bojong. Batas-batas wilayah
Kabupaten Pekalongan adalah sebagai berikut: disebelah utara berbatas Laut Jawa dan Kota Pekalongan, di sebelah timur
berbatas Kabupaten Batang, di sebelah selatan berbatas Kabupaten
Banjamegara, dan di sebelah barat berbatas Kabupaten pemalang.
Sebagiah besar
penduduk Kabupaten Pekalongan tinggal di daerah pedesaan. Akan tetapi, sering terjadi perpindahan penduduk
dari daerah pedesaan ke daerah
perkotaan, untuk mencari peluang pekerjaan yang lebih baik. Melihat kondisi
ini, pemerintah Kabupaten Pekalongan terus memacu pemerataan pembangunan dengan visi "terwujudnya
masyarakat yang lebih sejahtera baik lahir maupun batin".
II.2. Pekalongan dalam
Lintasan Sejarah
Keberadaan
pemukiman di Pekalongan pada masa prasejarah dan masa perluasan pengaruh kebudayaan Hindu dapat diketahui dari keberadaan
peninggalan megalitik dan lingga-yoni di beberapa tempat di bagian selatan
Kabupaten Pekalongan. Peninggalan ini menunjukkan bahwa pemukiman penduduk
telah berangsung lama dan penduduknya telah mengenal sistem kemasyarakatan dan
keagamaan.
Keberadaan
pemukiman pada periode awal abad Masehi sampai abad XIV/ dan XV sangat terbatas,
sehingga sulit dipastikan pertumbuhan
dan perkembangan komunitas di wilayah
Pekalongan pada masa pengaruh kebudayaan Hindu. Sampai saat kini pun belum ditemukan peninggalan tertulis yang
mampu me igungkap kehidupan pada masa
itu. Banyak ditemukan toponim, beserta tradisi lisan yang berupa legenda, mitos, atau cerita rakyat yang berkaitan
dengan toponim. Akan tetapi sulit
untuk memastikan kebenaran legenda atau cerita rakyat tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Scshrieke, Negara
Kertagama, karya tulis penting pada masa Majapahit, tidak menyebut
nama-nama daerah di Pantai Utara Jawa sebelah barat Lasem, yang mencakup daerah
Tegal, Pekalongan dan Semarang. Ada suatu dugaan bahwa pada masa itu penduduk
di daerah jarang, sedangkan daerah lain seperti Demak, Jepara,Kudus dan Pati
telah berkembang menjadi daerah penting, baik dalam percaturan politik maupun
ekonomi. Data-data sejarah pada periode abad ke-15 dan abad ke-16 diperolel melalui sumber-sumber tertulis, sumber-sumber
peninggalan bangunan makam kuno dan bangunan lain dari masa perkembangan
Islam di Jawa. Pada abad ke-16 diduga wilayah Pekalongan telah menjadi daerah
yang dilewati oleh hubungai komunikasi dari dua kerajaan Islam Demak dan
Cirebon.
Pada abad ke-17,
wilayah Pekalongan telah menjadi bagian dari kekuasaai kerajaan Mataram Islam. Pada masa
pemerintahan pemerintahan Sultan Agung Mataram
merupakan salah satu kerajaan yang paling gigih menentang Kompen Belanda. Penyerangan Mataram terhadap Belanda di
Batavia mencapai puncakny pada tahun
1628, yang dipimpin oleh Pengeran Mandurorejo dan Bahurekso.
Secara geografis Kabupaten Pekalongan terletak pada jalur
pantura dai jalur perniagaan laut yang cukup strategis, sehingga pada saat
penyerangan ke Batavia Pekalongan
dijadikan sebagai kantong/lumbung perbekalan. Strategi in juga digunakan oleh
Sultan Agung untuk mengumpulkan kekuatan-kekuatan daerah.
Dari bukti itu, dapat diketahui bahwa Pekalongan memiliki posisi penting
dalam
sejarah politik dan ekonomi di Indonesia. Bukti yang lebih memperkuatnya lagi adalah
pengangkatan Pangeran Manduroredjo sebagai Bupati Pekalongan, yan memperoleh
kekuasaan tertinggi di wilayah itu serta mempunyai kewajiban untu melaporkan segala sesuatu kepada Raja
Mataram, termasuk penyerahan upeti.
Selanjutnya pada abad ke 18 wilayah, Pekalongan berada
di bawah VOC (Verenigde Oost lndische Compagnie), suatu persekutuan dagang di Hindia
Timu VOC
memperoleh kekuasaan itu dari kerajaan Mataram setelah berhasil menumpe pemberontakan Trunajaya. Atas jasanya
itu VOC memperoleh imbalan berup kekuasaan
atas daerah-daerah di pantai Utara Jawa. Sejak 1800-an sampai 1942 wilaya Pekalongan menjadi wilayah administrasi di bawah
pemerintah Hindia Belanda.
II.3. Kondisi Sosial Budaya
Meskipun budaya
jawa masih tampak kental dalam masyarakat pekalongan, masyarakat bersifat
akomodatif terhadap unsur-unsur baru. Justru dalam keadaan yang
demikianlah Kabupaten Pekalongan menjadi
sebuah kabupaten yang cukup maju, karena masyarakatnya mau mengadopsi dan mengadaptasi unsure-unsur
luar yang bernilai positif untuk pengembangan kepribadian dan pembangunan
daerahnya.
BAB III
UPACARA
TRADISIONAL
DALAM
MASYARAKAT KABUPATEN PEKALONGAN
Masyarakat
Kabupaten Pekalongan, yang dikenal dengan sebutan kol SANTRI masih
memiliki budaya religi yang kental, terutama yang bernafaska Islam. Beberapa
upacara tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten
Pekalongan yaitu di antaranya adalah :
1. Upacara sedekah laut,
2. Upacara sedekah Bumi
3. Tradisi Jumat Paingan
4. Tradisi Grebeg Maulud
5. Upacara giling Tebu
6. Tradisi Bersih Kubur
7. Tradisi Syawalan
8. Tradisi Daur Hidup
III.l. Tradisi Daur Hidup
Tradisi daur hidup dilakukan oleh semua orang di dunia
, sebab tradisi ini menyangkut keselamatan dan harapan manusia dalam
kehidupannya. Perbedaanya terletak padapemberian penekanan antara keselamatan
dan harapan. Penekanan ini tergantung pada keyakinan masing-masing. Orang-orang
Indonesia atau Asia Timur, biasanya lebih mengutamakan keselamatan dalam
kehidupannya yang tercermin dalam tradisi daur hidup, sedangkan orang-orang
barat lebih mengedepankan pengharapannya dari pada keselamatannya.
Daur hidup yang terpenting bagi manusia adalah
kelahiran, perkawinan dan kematian, dan hanya tiga hal inilah yang diperingati
dengan pesta-pesta oleh orang-orang barat. Kegiatan perta lebih diutamakan
sebab mereka lebih mengedepankan pengharapan. Masyarakat Indonesia khususnya
masyarakat Jawa lebih mengutamakan keselamatan dalam kehidupan mereka, maka
dalam memperingati daur hidup mereka lebih mementingkan unsure religi. Oleh karena
itu, pelaksanaan tradisi daur hidup tidak terbatas pada tradisi kelahiran,
perkawinan dan kematian, tapi lebih rinci lagi sesuai dengan perhitungan
tradisional tentang perubahan dalam serangkaian kehidupan manusia dari lahir
hingga mati. Dalam ranah Antropologi upacara tradisi daur hidup disebut juga
ritus peralihan.( Yulianti,Dewi; 2008)
Masyarakat Kabupaten Pekalongan merupakan bagian dari
masyarakat Jawa. Oleh karena itu penyelenggaraan upacara yang berkaitan dengan
daur hidup atau ritus peralihan adalah sama seperti yang dilakukan oleh
masyarakat Jawa pada umumnya, yang dapat dikelompokkan menurut jenjang
kedewasaan, yaitu upacara masa kehamilan, upacara kelahiran dan masa bayi,
upacara masa kanak-kanak, upacara masa remaja, upacara masa dewasa dan upacara
kematian.
III. 2. Upacara Pasah Pangur
Karena banyaknya upacara dan tradisi di Kabupaten
Pekalongan maka penulis hanya ankan mengangkat bagian tradisi daur hidup yaitu
tradisi upacara Pangur.
Upacara Pasah Pangur merupakan upacara pada masa remaja
ini masih dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan khususnya di kecamatan Kajen,
Kesesi, Sragi dan Kandang Serang
sedangkan di derah Wiradesa, Wonokerto, Buaran, dan Tirto upacara
tersebut sudah tidak dilaksanakan oleh masyarakat.
III. 2. 1. Upacara
Pasah Pangur dapat diuraikan sebagai berikut :
Upacara Pasah Pangur, yaitu upacara memasah gigi
supaya ujung-ujung gigi menjadi rapi. Adapun perlengkapan upacara ini meliputi:
1. Pasoh / pengaron / ember/ baskom/ bak
mandi.
2. Perlengkapan Pangur yang terdiri dari
Kain putih, wungkal pangur/ grenda untuk meratakan dan menghaluskan gigi, catut
atau tang untuk memotong gigi.
3. Sesaji berupa polo gumantung, polo
kependem, dan nasi golong dengan lauk ikan kali.
III.2.1. Jalannya
Upacara Pasah Pangur
Setelah ditentukan hari untuk pelaksanaan
upacara, orang tua segera menghubungi Juru Pangur untuk memesan pelaksanaan
upacara. Setelah ditentukan hari pelaksanaan, Juru Pangur dating kerumah orang
tua si Anak.
Sebelum upacara dimulai, anak yang akan di pangur
dimandikan di kamar mandi atau sumur. Remaja putrid didampingi oleh ibunya,
sedangkan remaja putra didampingi oleh bapaknya.
Setelah selesai mandi anak tersebut diserahkan pada
Juru Pangur untuk segera melaksanakan pangur. Pada pelaksanaan upacara ini
orang tua menyerahkan sesaji berupa jenjem weton anak, panggang ayam jantan,
polo gumantung dan polo kependem, lauk pauk ikan sungai dan kluban.
Pada pelaksanaan pasha pangur, anak duduk di kursi,
diselimuti kain putih, kemudian disuruh berkumur tiga kali dengan menggunakan air
putih yang telah diberi mantera oleh juru pangur. Setelah itu juru pangur
melaksanakan tugasnya meratakan gigi anak yang dipangur dengan alat catut
sebagai pemotong gigi dan setelah itu menghaluskan gigi yang sudah dipangur
dengan wungkal atau grenda halus. Setelah menjalan kan pasha pangur terdapat
beberapa pantangan yang harus dihindari yaitu : tidak boleh makan dan minum
yang panas dan asam selama satu bulan dan tidak boleh mengumpat dan bicara
tidak senonoh.
III.2.2. Makna yang terkandung dalam upacara pasha pangur
· Mandi
mengandung makna agar sucu dari kotoran jasmani.
·
Selimut
kain putih melambangkan tujuan yang berlandaskan kesucian pikiran dan perbuatan
· Selamatan
golong mengandung makna golong gilig pikiran orang tua didalam mengantarkan
anaknya pada usia remaja.
·
Panggang
ayam jantan melambangkan keluhuran.
· Sesaji
berupa Polo Paja gumantung dan pala kependem melambangkan rasa syuk kepada
Allah swt.
·
Ikan sungai melambangkan bahwa setelah seorang anak
memasu usia remaja tidak melakukan
tindakan-tindakan negatif.
· Kuluban melambangkan bahwa anak telah dipersiapkan
memasuki kehidupan masyarakat.
· Juadah
pasar melambangkan bahwa anak akan laris di pasaran sehingga cepat mendapatkan
jodoh.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
I.
Kesimpulan
Dari uraian pada bab terdahulu, dapat di kemukakan
kesimpulan sebagai berikut :
- Beberapa upacara tradisional yang dapat diidentifikasi dan masih dilakukan oleh masyarakat adalah upacara sedekah laut, sedekah bumi, tradisi Juamat Paingan, tradisi giling tebu, tradisi grebeg Maulud, ritus peralihan atau daur hidup yang diantaranya adalah Pasah Pangur
- Tradisi dan Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya, dalam penelitian ini tradisi pasah pangur dapat diartikan sebagai upaya pewarisan perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak dalam ujud tradisi pasah pangur.
- Meskipun pelaksanaan upacara tradisional pasha pangur memerlukan aturan-aturan dan sarana yang cukup rumit sampai sekarang masyarakat kabupaten Pekalongan sebagian masih melaksanakannya karena dianggap menyangkut keselamatan dan harapan manusia dalam kehidupannya dan sebagai sarana integritas komunitas.
II.
Saran-saran
Eksistensi upacara tradisional atau tradisi ritual
dikabupaten pekalongan perlu dilestarikan, namun pelaksanaannya harus mengikuti
perkembangan jaman karena upacara tradisi antara lain berfungsi sosial (
sebagai perekat hubungan antar warga auatu komunitas dan pewarisan nilai-nilai
luhur generasi sebelumnya) dan fungsi budaya sebagai identitas komunitas.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi,
1986, Kepribadian Budaya Bangsa, Jakarta : Pustaka Jaya.
Koentjaraningrat,
ed.. 1989. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
T.t.. 2003, Upacara Tradisional Daur Hidup Kabupaten
Pekalongan, Pekalongan : Pemerintah Kabupaten Pekalongan, Kantor
Pariwisata Dan Kebudayaan.
Nuryanti, Windu. 1992. “Pariwisata dalam Masyarakat
Tradisional” Makalah pada program pelatihan Perencanaan dan
Pengembangan Pariwisata. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar